Narasiterkini.com, Meulaboh – Banjir yang meliputi 10 kecamatan di Kabupaten Aceh Barat disebabkan adanya penebangan liar serta pembiaran tambang emas ilegal sehingga memicunya bencana, baik banjir bandang, longsor maupun berbagai kerusakan infrastruktur lainnya.
Dampak tersebut kini dirasakan oleh masyarakat yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab hingga banjir terus meluas hingga 2 sampai 3 meter ke pemukiman penduduk di Aceh Barat, mestinya pemerintah daerah lebih proaktif dalam menjalankan tugas fungsinya sehingga tidak berdampak buruk serta timbul kerugian besar pada daerah.
Akibat tersebut pemerintah Kabupaten Aceh mencatat kerugian akibat bencana alam banjir di daerah tersebut mencapai Rp34,5 miliar lebih, setelah sejumlah sarana infrastruktur publik mengalami kerusakan.
Kemudian kerugian akibat bencana tersebut berimbas pada masyarakat petani dari data terkhir yang diperoleh pemerintah terkait tercatat 2.854 hektar sawah dari 4.084 hektar luas area tanam kerugian ditafsirkan mencapai 7,1 miliyar.
“Banjir menjadi persoalan klasik sekarang, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal kejadian setiap akhir tahun selalu kejadian, pemerintah terkesan macam tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya,”ujar Nasir Buloh deputi direktur WALHI Aceh saat dikonfirmasi media ini Kamis (23/11/2023)
Ia menilai kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.
Selain itu, WALHI Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.
“Intensitas banjir yang terjadi di Aceh, khususnya di Aceh Barat beberapa pekan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi,”Ujarnya.
Wajar banjir terus terjadi di Aceh selama ini setiap curah hujan tinggi. Karena kerusakan hutan, khususnya yang masuk dalam KEL terus terjadi. Hutan alam terus ditebang, sehingga mengakibatkan daya dukung tanah menurun, sehingga terjadilah berbagai bencana ekologi.
“Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Dampaknya saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang karena hutan sudah gundul,”bebernya.
Katanya, bila hutan terus ditebang dan suatu wilayah dilanda curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan luapan air yang berlebih. Padahal pohon memiliki fungsi menyerap air untuk mencegah banjir.
“Pohon itu memiliki peran penting untuk mencegah banjir, terutama banjir bandang, karena pohon sebagai penghalang air banjir, sehingga air meresap dan banjir dapat teratasi. Jadi kalau hutan sudah gundul, tidak ada lagi yang menahan air,” jelasnya.
Sehingga tidak mengherankan saat curah hujan tinggi terjadi banjir, khususnya di Aceh dampak dari kehilangan tutupan hutan terus terjadi. Begitu juga di beberapa daerah lainnya, bila musim hujan tiba banjir tidak dapat dihindari, karena banyak hutan sudah gundul.
Oleh sebab itu, WALHI Aceh mendesak pemerintah Aceh, terlebih pada pengawasan pemerintah daerah sendiri memproteksi kerusakan hutan di Aceh yang terus terjadi setiap tahunnya. Begitu juga tidak membuka jalan baru, cukup memaksimalkan jalan yang sudah ada dengan memperbaiki agar mudah dilalui.
Karena bila ada jalan tembus baru dibangun semakin memantik pembalakan liar yang berakibat fatal terhadap kondisi lingkungan di Aceh. Selain berdampak terjadinya banjir, juga mengakibatkan konflik satwa karena habitat dan koridor terganggu dan kejahatan lingkungan lainnya.
Berdasarkan pengamatan WALHI Aceh, Aceh memiliki riwayat banjir yang tinggi dibandingkan daerah lainnya. Ini tidak terlepas masih terjadi sengkarut ruang yang harus secepatnya diperbaiki.
“Sudah saatnya Aceh memasukkan mitigasi bencana banjir dalam merevisi qanun tata ruang kabupaten sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana banjir dalam jangka panjang,” katanya
Qanun Aceh No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013 – 2033 sekarang sedang direvisi. Pemerintah Aceh dapat mengambil peluang ini untuk menyinkronkan tata ruang kabupaten dengan provinsi terkait kepentingan penanggulangan bencana banjir.
Selain itu, WALHI Aceh juga mengajak warga yang tinggal di daerah yang rawan bencana alam, baik itu banjir maupun lainnya agar selalu waspada. Penting warga untuk adaptif terhadap berbagai bencana ekologi, baik saat kejadian bencana maupun sebelum bencana terjadi.
Seperti mempertimbangkan aspek bencana dalam pemanfaatan ruang, pembangunan rumah dan infrastruktur lainnya. Termasuk untuk pemanfaatan lahan harus dipertimbangan aspek bencana, jangan sampai hutan terus menyusut yang berdampak menurunnya daya dukung tanah. (Dan)
Discussion about this post