Narasiterkini.com, Meulaboh – Puluhan mahasiswa yang mengantasnamakan dirinya Gerakan Perempuan Tolak Kekerasan Seksual Terhadap Anak (GERTAK) Aceh Barat, melakukan aksi di depan Mapolres setempat terkait korban kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Aksi tersebut menuntut beberapa poin diantaranya, mendesak polisi untuk menindak oknum Polwan yang telah bertindak menghentak meja di depan korban sehingga korban trauma untuk bertemu dengan petugas atau bahkan orang asing.
Mereka atau para aksi juga menanyakan sejauh mana proses terhadap pelaku yang rumornya sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO),”kata Korlap GERTAK Aceh Barat, Mela kepada media, Rabu (3/11/2021).
Lebih lanjut, mela menjelaskan mereka juga mendesak Polisi untuk menindak oknum di kepolisian sektor yang menurut pengakuan ayah korban telah meminta sejumlah uang (Rp 2 juta) jika ingin anaknya dijemput dari Aceh Timur. Padahal, itu situasi darurat, di mana korban sedang berada di dalam mara bahaya karena pelaku bersamanya.
Selanjutnya para peserta aksi meminta pihak Kepolisian menyeret keluarga pelaku yang turut serta memfasilitasi pelaku dalam peristiwa rudapaksa yang dialami korban di rumah mereka (TKP/Aceh Timur).
Kasus ini harus dikembangkan sampai ke Aceh Timur karena menurut pengakuan korban, keluarga pelaku (pemilik rumah) sempat menyuruh pelaku untuk melanggengkan perbuatannya, dengan mengatakan “ka perkosa ju”, Ujarnya.
Dari beberapa poin penting yang dilakukan pihak Kepolisian para aksi mendesak Polisi untuk menjamin keamanan korban dan keluarganya selama proses hukum berlangsung, termasuk pula menjamin rasa nyaman terhadap korban.
Adapun kasus ini akan diproses di Polda Aceh karena Kepolisian Resor dinilai kurang responsif atau reaktif sejak awal, bahkan setelah 3 bulan laporan dilakukan oleh ayah korban, kasusnya cenderung menggantung sementara pelaku bebas entah ke mana.
Kemudian poin penting selanjutnya adalah Mendesak Polisi menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), dan tidak menyeretnya ke pasal yang tertera di dalam Qanun Jinayah.
Para aksi yang juga mendesak pemerintah agar DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Aceh Barat mengevaluasi kinerjanya terlebih kepada menindak tegas dan mengevaluasi psikolog yang telah berlaku tidak empati terhadap korban dan cenderung melakukan victim blaming, atau melemparkan kesalahan kepada korban.
Yang kita inginkan adalah pemerintah setempat menjamin ruang aman bagi para korban kekerasan seksual terhadap anak, atau memutakhirkan pelayanan yang ada lembaga tersebut,” sebut Mela.
Dikatakannya para aksi juga mendesak DPRA memprioritaskan wacana revisi Qanun Jinayat, terutama mencabut 2 pasal yang berlawanan dengan penegakan perlindungan korban kekerasan seksual terhadap anak.
Menegaskan kembali perbedaan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang ada di dalam Qanun Jinayah dengan yang ada di dalam UUPA.
Mari bandingkan antara ancaman yang ada di dalam Qanun Jinayah dengan Undang-Undang Perlindungan terhadap Anak. Dalam pasal 47 Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 disebutkan.
Pasal 46 Qanun Jinayah, setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan.
“Jelas-jelas terlihat adanya perbedaan jumlah hukuman antara apa yang tertera di dalam Qanun Jinayah dengan UUPA. Ini pula yang menyebabkan EC-KSAA mendukung dan mengawal proses revisi qanun tersebut yang saat ini sudah menjadi wacana dari legislator di provinsi Aceh
Seperti yang kita ketahui, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama sejumlah elemen mengelar kegiatan Fokus Group Discussion (FGD)/diskusi grup terfokus, terkait urgensi revisi qanun jinayah untuk perlindungan anak di Aceh. Kegiatan FDG yang dilaksanakan, Senin (18/10/2021) menghadirkan narasumber yakni Wakil Ketua DPRA Hendra Budian, Anggota Komisi I DPRA, Darwati A.Gani serta dari pihak LBH Banda Aceh.
Wakil Ketua DPRA, Hendra Budian, mengatakan angka kekerasan terhadap anak sedang meningkat signifikan di Aceh dan menjadi keresahan publik. Maka dari itu harus menjadi perhatian berbagai pihak di Aceh. Saat ini, proses revisi sedang berjalan, di mana sudah terbentuk tim atau inisiator dari anggota DPRA berjumlah 13 orang yang nantinya akan disetujui di badan legislasi.
Namun, tentunya ini harus dikawal bersama. Terlebih, masih banyak yang menilai bahwa qanun tidak boleh disentuh-sentuh dan dianggap sakral. Ini tentu pandangan yang salah. Seandainya pihak yang kontra dengan revisi qanun ini bisa merasakan ketika keluarga mereka menjadi korban, apakah mereka akan memilih hukuman cambuk saja kepada pelaku? Setelah sembuh dari pukulan rotan berukuran 1 sentimeter itu, pelaku bebas melenggang di depan korban dan orang tuanya. Kira-kira apa perasaan korban dan keluarganya? Bayangkan.
Sementara itu, korban membawa penderitaannya sampai ia tua kelak. Hal ini sudah disetujui oleh psikolog anak, bahwa trauma kekerasan seksual akan mengendap (residu), dan tidak akan hilang. Bahkan pada beberapa kasus, peristiwa itu menjadi perusak mental yang sangat serius. Beberapa korban malah hilang kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Peristiwa yang dialaminya berdampak puluhan tahun, sementara pelaku?,” Tanya dia. (Dani)
Discussion about this post