Narasiterkini.com, Tapaktuan – Nama Mustafa Ahmad lekat dalam ingatan masyarakat Aceh Selatan sebagai sosok Camat yang tidak hanya menjalankan tugas birokrasi, tetapi juga berdiri di garda depan dalam memperjuangkan pendidikan, memperkuat organisasi kemasyarakatan, dan melestarikan nilai-nilai adat Aceh. Ia bukan sekadar aparatur, tetapi pemimpin dengan integritas dan keteladanan.

Mengawali pengabdiannya sebagai Guru di beberapa sekolah menengah di Banda Aceh dan Labuhanhaji, Mustafa Ahmad kemudian menapaki jalur pemerintahan.
Ia menjabat sebagai Camat Labuhanhaji (1971–1978), Camat Kluet Selatan (1978–1985), lalu dipercaya memimpin BP-7 hingga tahun 1990 lalu mengakhiri masa baktinya sebagai PNS di BP-7 Provinsi Aceh, Banda Aceh, dan resmi pensiun pada 1992.
Dalam setiap amanah yang diembannya, ia dikenal sebagai pribadi yang tegas, berprinsip, dan tidak pernah berkompromi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai kebenaran dan kemaslahatan publik.
Jauh sebelum gaung program wajib belajar terdengar di tingkat nasional, Mustafa Ahmad telah mengambil langkah nyata di lapangan. Ia tidak segan melakukan razia terhadap anak-anak usia sekolah yang ditemukan berkeliaran di pasar, sawah, maupun ladang saat jam belajar.
Baginya, pendidikan bukanlah pilihan, melainkan hak dan kewajiban setiap anak. Ia bahkan rela turun ke sawah, bukan hanya menegur, tetapi mengantarkan langsung bekal makan siang kepada anak-anak yang ia suruh kembali ke sekolah sambil berdialog langsung dengan para orang tua untuk menjelaskan pentingnya pendidikan.
Dari tangan dingin dan ketegasannya, banyak anak-anak yang dulunya menjadi “sasaran razia” justru tumbuh menjadi guru, dosen, pengusaha, aparatur sipil negara, hingga tokoh-tokoh sukses lainnya.
Di luar tugas pemerintahan, Mustafa Ahmad aktif dalam berbagai organisasi keislaman dan kemasyarakatan. Pada era 1960-an, ia pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Pelajar Islam (PPI) Aceh, Pengurus Pemuda Aceh Selatan (PAS), dan Sekretaris Umum PERTI Aceh. Kiprah ini menunjukkan betapa sejak muda ia telah memiliki komitmen kuat dalam membangun jaringan perjuangan di tengah masyarakat.
Penulis mendapatkan banyak informasi secara lisan dari warga Labuhanhaji dan Kluet Selatan terkait Mustafa Ahmad yang juga merupakan sosok penggiat adat Aceh yang gigih. Ia sangat konsisten menyuarakan pentingnya pelestarian adat sebagai bagian dari keistimewaan Aceh.
Mustafa Ahmad juga menulis artikel, jurnal, dan menyusun buku-buku yang membahas adat istiadat Aceh. Keyakinannya sederhana tapi kuat, adat bukan hanya warisan, tetapi harus menjadi pedoman hidup yang menciptakan keamanan, ketenteraman, dan keadilan sosial. Ia menginginkan agar adat tetap hidup dalam praktik nyata kehidupan bermasyarakat, bukan hanya dalam seremoni.
Tidak berhenti di sana, beliau juga dikenal sebagai penggerak semangat gotong royong di tengah masyarakat. Di masa kepemimpinannya, semangat kolektif itu tumbuh subur dan menjadi kekuatan sosial yang mempererat hubungan antarwarga.
Sejak 1985, Mustafa Ahmad juga dikenal sebagai seorang akupunturis. Keahlian ini ia manfaatkan sepenuhnya untuk melayani masyarakat, menunjukkan kepeduliannya dalam bidang kesehatan alternatif.
Mustafa Ahmad bukan sekadar pejabat. Ia adalah pemimpin sejati yang membangun masyarakat tidak hanya lewat kebijakan, tetapi melalui keteladanan, keberanian, dan kepedulian. Jejak pengabdiannya di bidang pendidikan, organisasi, dan pelestarian adat adalah warisan berharga dalam sejarah Aceh Selatan yang layak dikenang, dan patut dijadikan teladan.
Di usianya ke 89 tahun saat ini, Mustafa Ahmad memiliki mimpi besar mengenai naskah yang masih dalam bentuk draft Buku yang berjudul
“ADAT ACEH SETELAH TAHUN 1621” sebuah naskah/draft yang telah dilakukan proses editing oleh salah seorang wartawan senior Aceh Selatan almarhum Zamzami Surya.
Berdasarkan kesan kami, setelah membaca dan mempelajari isi dari draft buku tersebut, bahwa draft tersebut sangat perlu untuk di terbitkan menjadi sebuah buku dengan tujuan agar seluruh masyarakat Aceh menjadi tahu dan mengerti :
1. Apa itu Adat?
2. Ternyata ADAT itu terbagi kepada dua bagian yaitu Adat Istiadat dan Adat Kebiasaan; serta Adat sebagai sebuah aturan yang dikenal sebagai Hukum Adat
Itulah “Mimpi Besar” Mustafa Ahmad sebagai sebuah kewajiban yang dipikul oleh rasa tanggung jawab terhadap hal yang sudah dipahaminya secara mendalam tentang “ADAT ACEH”, agar warga Aceh sadar betapa pentingnya adat sebagai sebuah “KEARIFAN ACEH”.
Terakhir, untuk menyederhanakan motivasi dan melatih daya ingat kita, kami ingin menyampaikan harapan dan mengajukan beberapa pertanyaan :
- Apakah Bapak/Ibu yang pernah tinggal di wilayah Labuhanhaji yang dulunya mencakup Kecamatan Labuhanhaji, Labuhanhaji Barat, dan Labuhanhaji Timur atau di Kecamatan Kluet Selatan yang kini terbagi menjadi Kluet Selatan dan Kluet Timur pernah merasakan sendiri dikejar, dijemput dari rumah atau sawah, lalu diantar ke sekolah agar tidak ketinggalan pelajaran ?
- Apakah kita sendiri atau ayah kita pernah merasakan saat-saat ketika Camat Mustafa mengantarkan nasi ke sawah untuk menggantikan sang anak, agar anak tersebut bisa segera kembali bersekolah ?
- Masihkah kita mengingat semangat gotong royong membuka jalan dari Paya Dapur ke Lawe Sawah dan Gampong di Lembah Sekorong, yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Kluet Timur ketika masyarakat bersama-sama menembus hutan belantara demi mengakhiri isolasi kewilayahan ?
Mari kita kenang kembali jejak pengabdian orang-orang seperti Mustafa Ahmad, menggali nilai-nilai perjuangan mereka, agar menjadi inspirasi dalam membangun masa depan Aceh Selatan yang lebih maju, beradab, dan bermartabat.
Penulis : Penggiat Adat Aceh
Oleh : Tgk Abdul Kadir
Discussion about this post