Narasiterkini.com, Tapaktuan – Tahun 2026 menjadi momentum penting bagi rakyat Aceh. Genap dua dekade Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) disahkan sebagai tindak lanjut perdamaian Helsinki. Salah satu poin utama UUPA adalah pengakuan atas kekhususan Aceh dalam penerapan Syariat Islam secara menyeluruh.
Pimpinan Dayah Sirajul ‘Ibad, Meukek, Tgk. H. Mohd. Ja’far Amja, S.Hi (Abu Meukek) menilai momen 20 tahun UUPA harus dijadikan titik refleksi mendalam.
“Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab bersama adalah apakah Syariat Islam yang kita jalankan sudah sesuai substansi, ataukah baru sebatas seremonial dan simbol,” ujar Abu Meukek, yang juga Ketua Majelis Pengajian dan Zikir TASTAFI Aceh Selatan serta Wakil Ketua MPU Aceh Selatan.
Menurut Abu Meukek, secara kelembagaan, Aceh sudah memiliki perangkat dasar penegakan syariat. Terbentuknya Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Mahkamah Syar’iyah, dan Baitul Mal, ditambah lahirnya sejumlah Qanun seperti Qanun Jinayat, Khamar, Maisir, hingga Khalwat, merupakan pencapaian yang patut diapresiasi.
“Baitul Mal juga semakin berperan dalam menghimpun dan menyalurkan zakat, infak, dan sedekah untuk fakir miskin. Identitas Islami Aceh tetap terjaga, baik dalam budaya berpakaian, tradisi keagamaan, maupun eksistensi dayah sebagai benteng akidah,” jelasnya.
Meski begitu, Abu Meukek menilai penerapan syariat belum sepenuhnya maksimal. Karena selama ini penegakan syariat sering kali dirasakan hanya menekan rakyat kecil, sementara pelanggaran yang dilakukan kalangan elit jarang tersentuh. Fokus kita juga masih dominan pada hukuman cambuk, khalwat, khamar, dan maisir, padahal aspek keadilan sosial, pemberantasan korupsi, dan pengentasan kemiskinan seharusnya menjadi prioritas utama.
Ia juga menyoroti kelemahan koordinasi antar-lembaga, keterbatasan regulasi turunan, serta kualitas SDM aparat penegak syariat.
“Syariat jangan berhenti pada teks qanun, tetapi harus menjadi nilai yang hidup dalam birokrasi, pemerintahan, sekolah, dan masyarakat,” tambahnya.
Abu Meukek menekankan pentingnya menjadikan dua dekade UUPA sebagai titik balik perbaikan. Menurutnya, ada beberapa langkah yang harus segera ditempuh:
1. Reorientasi syariat dari simbol menuju substansi keadilan, amanah, anti korupsi, dan pemberdayaan ekonomi umat.
2. Penguatan lembaga seperti Wilayatul Hisbah, Mahkamah Syar’iyah, dan Baitul Mal dengan SDM yang profesional dan berintegritas.
3. Evaluasi qanun agar sesuai kebutuhan masyarakat dan menjawab tantangan zaman.
4. Keadilan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pejabat dan elit politik.
5. Internalisasi nilai syariat dalam kehidupan keluarga, sekolah, kampus, kantor, hingga ruang publik.
“Jika refleksi ini tidak dilakukan dengan jujur, Syariat Islam berpotensi terjebak hanya sebagai simbol dan warisan formalitas. Padahal, ruh syariat adalah menghadirkan rahmat, keadilan, dan kesejahteraan bagi umat,” tutup Abu Meukek. (RO/Hi)
Discussion about this post