Narasiterkini.com, Tapaktuan – Politik balas budi dan tamu tidak diundang dalam kehidupan merupakan hal yang wajar. Hal ini di ungkapkan oleh salah satu Pemerhati Politik Aceh Selatan, Hennri, SH kepada media. Jum’at, (22/08/2025)
Alumni Universitas Syiah Kuala (USK) ini menyebutkan bahwa membalas budi adalah kewajaran. Kepala daerah yang mendengarkan suara tim pemenangnya, memberi sedikit perhatian, itu hal yang lumrah. Mereka adalah orang-orang yang rela berkeringat di siang bolong, menahan serangan lawan, dan berjaga di saat suara dipertaruhkan. Wajar jika sesekali mereka dipersilakan duduk lebih dekat ke meja makan.
Namun menurut Hennri, politik di negeri kita sering menghadirkan sandiwara, pasalnya yang kalahpun ingin diperlakukan bak pemenang. Bayangkan sebuah pesta pernikahan, tamu yang tidak diundang masuk dengan langkah percaya diri, mengambil kursi paling depan, bahkan meminta jatah nasi lebih banyak dari keluarga pengantin. Itulah wajah sebagian tim politik yang gagal, tapi tampil seolah tuan rumah.
“Di beberapa daerah, termasuk Aceh Selatan, cerita ini kerap terjadi. Ada yang kalah namun tiba-tiba mengaku paling berjasa. Dengan wajah penuh senyum, ia menempel ke pemenang, berbisik manis seolah tanpa dirinya kemenangan tidak mungkin diraih. Padahal catatan sejarah jelas, dia ada di barisan yang tersungkur. Tapi di panggung politik, kenyataan bisa dibolak-balik, asal wajah cukup tebal, klaim bisa dipoles seperti medali emas imitasi,” ujar Hennri.
Lebih jauh lagi kata Hennri, ada tim yang kalah namun tetap rajin meniupkan opini busuk. Mereka mengatur narasi, memprovokasi, bahkan mencoba menggembosi kebijakan yang dianggap tidak sesuai seleranya. Ibarat penonton pada Bioskop yang gagal membeli tiket, tapi tetap memaksa masuk dari pintu darurat, lalu protes keras jika film yang diputar tidak sesuai selera mereka.
“Dalam realita kisah politik, pemenang sering terjebak untuk melayani tamu tidak diundang. Alih-alih fokus pada rakyat yang memberi amanah, energi habis untuk meredam intrik rival yang kalah, sayangnya Rakyat lagi-lagi jadi penonton paling setia yang duduk di bangku belakang, menonton elite ribut memperebutkan kursi, sambil bertanya dalam hati ‘Bukankah pesta ini mestinya untuk kami?’,” sebutnya lagi.
“Maka jangan heran, dalam politik Indonesia, tidak ada yang benar-benar kalah. Yang kalahpun bisa berdiri di podium kemenangan, asal cukup pandai bersandiwara. Demokrasi akhirnya berubah jadi pesta yang riuh, tapi tamu yang paling layak justru tidak pernah diajak menari yaitu rakyat sendiri,” tutup Hendri. (RO)
Discussion about this post