Narasiterkini.com, Banda Aceh- Ketika bicara mudik tentu yang dipikirkan oleh sang sopir (driver) adalah panen rejeki musiman, bukan malah sebaliknya, dan diharapkan tidak harus ada setor atau sejenisnya.
Sedangkan bagi penumpang angkutan darat kebahagiannya saat mudik adalah berkumpul dengan keluarga dalam merayakan hari kemenangan atau lebaran.
Lebaran tahun 2021 tentu sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan situasi sekarang yang masih dalam kondisi pandemi tentu tidak menyenangkan semua pihak.
Nasib sedih lainnya yang dialami oleh penumpang dan sang Driver, untuk menghindari Pos penjagaan Covid-19, jalan tikus (jalan yang tidak semestinya dilalui) menjadi alternatif untuk menghindari pemeriksaan petugas, jadi sasaran oleh sang Driver.
Ketika melihat situasi seperti ini seakan Pemerintah tidak hadir ditengah mereka (sopir dan penumpang) yang ingin nyaman dalam merayakan lebaran bersama keluarga, Sungguh UUPA yang katanya mujarab dalam segala hal kalah dengan Provinsi NTB yang tidak ada regulasi UUPA, malah kekuatan kebijaksanaan yang dilakukan oleh sang Gubenur membuat lega para pemudik lintas Kabupaten/Kotanya.
Kehadiran Negara seperti di NTB adalah impian semua Daerah, tidak terkecuali Aceh. Harusnya, saat berperan sebagai pengaman jalan para petugas harus memerankan fungsinya dengan baik dan mampu menyederhanakan setiap ucapannya. Meskipun hal yang terjadi ternyata sesuatu yang tidak diinginkan oleh pemudik terjadi, seperti dituntut bagi pemudik untuk putar arah atau kembali kelokasi semula.
Sungguh situasi ini menjadi petaka buruk bagi Pemimpin Aceh, terutama Stakeholder terkait (Forkopimda) setiap mengambil keputusan dengan tanpa disadari akan keputusan semua pihak.
Bukankah Aceh juga sama masih dalam lingkup NKRI yang seharusnya juga mendapatkan hak yang sama dalam pelayanan publik dibidang mudik, bukan sebaliknya.
Prokes (protokoler kesehatan) yang harusnya diterapkan Seperti : Surat Keterangan Hasil Negatif Tes RT-PCR/ Rapid Tes Antigen atau Surat Keterangan Hasil Negatif Tes GeNose gratis yang diutarakan oleh Stakeholder hanya sebagai semboyan semata, yang pada akhirnya kondisi ini hanya diindahkan oleh mereka yang berduit. Sehingga jelas Negara hanya hadir untuk warga kelas menengah keatas bukan untuk semua kelas.
Disisi lain, saat Pribumi dilarang (dengan adanya penyekatan dari petugas) untuk mudik sementara WNA asal Negara Cina terus berdatangan ke Indonesia (dikutip dari beberapa sumber media nasional). sungguh hal itu melukai hati masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.
Pada kondisi ini catatan penulis adalah : Pertama, pentingnya semua Stakeholder baik Vertikal maupun Horizontal harus menjalankan tugasnya Terintegrasi satu Instansi dengan Instansi lain.
Kedua, kehadiran Negara (Forkopimda) harus menjadi satu acuan kerja yang menyederhanakan setiap kebijakan dan keputusannya untuk para pemudik dan sopir.
Ketiga, setiap warga yang mudik dan juga sopir harus menjalankan Prokes sesuai seruan dan edaran yang telah disampaikan, dan laporkan setiap aturan yang melanggar seruan yang tidak tertera dalam seruan.
Penulis : Masrizal, S.Sos., MA, Mahasiswa Doktoral UGM Yogyakarta dan Dosen Sosiologi USK yang juga sebagai pemerhari kabijakan publik. (*)
Discussion about this post