NarasiTerkini.com, Meulaboh– Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Cabang Aceh Barat mendesak pemerintah Aceh Barat untuk menindak tegas para pelaku pelanggar syari’at Islam sesuai Qanun Aceh serta mencabut izin Wisma Bunda, kota Meulaboh, Aceh Barat.
Kasus Pelanggaran Syari’at Islam kembali terulang , tepatnya di Wisma Bunda, Desa Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, pada Jum’at (26/08/2021).
“Sepasang pasangan non muhrim kedapatan dengan kondisi sedang berduaan dalam satu kamar penginapan dan juga ditemukan alat kontrasepsi bekas pakai. Para pelaku yang di amankan berjumlah 4 orang yakni satu pasangan non muhrim dan dua orang mucikari,”kata Ketua SEMMI Alia Safitri melalui rilisnya Minggu (29/8/2021)
“Kasus ini harus ditindaklanjuti dengan sanksi tegas. Ini bukan yang pertama kalinya terjadi di tempat yang sama, dan sangat mencederai citra Meulaboh sebagai Kota Tauhid Sufi. Semestinya pemerintah harus selektif dalam memberikan perizinan dan upaya pengawasan untuk tempat-tempat penginapan yang ada di Aceh Barat”
“Karena ini akibatnya ke perkara kifayah dan mengundang bala. Satu dua orang yang berbuat maksiat namun musibah dan kemurkaan Allah akan menimpa seluruh negeri, coba perhatikan Q.S. Al-Qashash ayat 59, Al-Isra’ ayat 16, Al-Hud ayat 102, dan Al-A’raf ayat 96. Itu peringatan Allah,” Tegas Alia.
Ia menjelaskan, pelaku juga diketahui bukan berusia di bawah umur, sehingga patut untuk dikenai sanksi tegas. Identitas pelaku yaitu Pria bernisial FW (27) warga Desa Ranto Selamat, Kecamatan Tadu Raya, Kabupaten Nagan Raya dan wanita berinisial WRS (24) warga Komplek Perumahan Budha Tzu Ci, Desa Peunaga Paya, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat.
Alia Safitri menambahkan, seperti yang kita ketahui, Qanun Jinayat atau Perda Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang hukum pidana itu sudah mengatur tentang 10 pidana utama, termasuk disitu soal khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, gadzaf, liwath, dan musahaqah.
“Itu sudah sangat jelas, dan tak ada namanya diskriminasi kalau hukum Syari’at diterapkan Kalau kasus syari’at yang dilanggar, maka sanksi juga harus sesuai syari’at,”ungkapnya.
Menurutnya, Tidak ada hambatan bagi pemerintah untuk tidak menerapkan hukum syari’at, baik itu perihal asusila, ekonomi, sosial, politik, dan segala sisi aspek kehidupan bermasyarakat.
Dalam pelaksanaanya, Hukum Islam itu tak ada tawar menawar, negosiasi dan keragu-raguan, justru terbukti sangat efektif. Sehingga pelaku akan merasa jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan bagi yang berniat melakukan juga akan berpikir berpuluh kali untuk melakukan kejahatan, karena sanksi yang sudah ditetapkan itu tidak main-main.
“Saya rasa kita sudah cukup paham membaca bagaimana fakta di lapangan penerapan sanksi yang terjadi sejauh ini. Bagaimana ketika tahanan lari dari lapas, pelaku dengan wajah-wajah yang sama, dan seperti tak ada ketakutan bagi mereka dalam berbuat kezhaliman. Sangat miris, dan harus menjadi bahan evaluasi untuk para pemangku kebijakan,” ujar Alia.
Pemerintah Aceh khususnya Aceh Barat juga diminta tidak hanya menerawang kepada rakyat bawah namun juga harus komprehensif diterapkan di semua kalangan masyarakat, PNS atau ASN, para pejabat dan lainnya juga harus diinvestigasi secara adil.
“Ini bukanlah soal kepentingan pribadi, tapi demi kepentingan umat. Ini bukan hanya tugas pemerintah, namun adalah peran kita bersama. Pemerintah jangan alergi kritikan rakyat, dan rakyat juga jangan berpangku tangan melihat keadaan. Tidak perlu ada sekat-sekat yang menghalangi rakyat dan pemerintah menegakkan kebenaran. Justru kemajuan itu bisa diraih oleh sinergisitas dan kerjasama,” tutup Aulia. (Rilis/Dani)
Discussion about this post